Anak Susah Diatur? Cara Rasulullah Mendidik Anak

Admin 0 Komentar

Setiap orang tua selalu berharap agar anak-anaknya tumbuh dan memiliki karakter yang baik. Berikut cara Rasulullah mendidik anak!

Indiffs – Setiap Orang tua selalu berharap agar anak-anak nya tumbuh dan memiliki karakter yang baik. Seperti Sopan, ramah, bertanggung jawab dan lainnya. Perkembangan mental dan pengetahuan anak akan terus bertambah seiring usianya. Mereka semakin tahu tentang apa yang diinginkan. Hal ini mungkin disebabkan dengan cara mendidik anak yang kurang tepat dan terkadang membuatnya sulit diarahkan. Bahkan, dalam beberapa kasus, anak melawan orang tua sering terjadi di sekitar kita.  Sikap anak yang tidak bisa diatur biasanya ditangkap orang tua sebagai perilaku melawan, memancing emosi, dan dalam keadaan tertentu, orang tua justru memukul si anak sebagai jalan terakhir ‘mendidik’ sekaligus membuatnya jera. Bagi orang tua yang baru khususnya kadang menjadi kesulitan dalam hal mendidik buah hati. Padahal sebenarnya, kamu tidak harus bingung karena menjadi seorang muslim tentu memiliki role model atau panutan yang baik. Tentang bagaimana cara mendidik anak agar memiliki karakter yang baik, berikut cara Rasulullah dalam mendidik anak.

Cara ini bersumber dari Rasulullah SAW dalam mendidik anak yang diriwayatkan Sahabat Anas bin Malik.

Dilansir dari nuonline.id, Dalam kitab Sunan Abî Dawud, Imam Abu Dawud Sulaiman memasukkan sebuah riwayat menarik tentang Sayyidina Anas dan Rasulullah saw. Berikut riwayatnya:

قَالَ أَنَسٌ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَا أَذْهَبُ وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ: فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرَّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي السُّوقِ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَابِضٌ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ اذْهَبْ حَيْثُ أَمَرْتُكَ, قُلْتُ: نَعَمْ أَنَا أَذْهَبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ, قَالَ أَنَسٌ: وَاللَّهِ لَقَدْ خَدَمْتُهُ سَبْعَ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ سِنِينَ مَا عَلِمْتُ قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا وَلَا لِشَيْءٍ تَرَكْتُ هَلَّا فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَ

Anas bin Malik berkata: “Rasulullah saw adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Aku berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan pergi (mengerjakan perintahnya).’ Padahal diriku sebenarnya ingin pergi melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi Allah saw kepadaku.”

Anas berkata: “Lalu aku keluar (rumah). Aku melewati sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di pasar, tiba-tiba Rasulullah saw memegang tengkukku dari belakang, aku melihat kepadanya, dan beliau sedang tertawa, kemudian berkata: “Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).” Aku menjawab: “Baik, aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.”

Anas berkata: “Demi Allah, sudah tujuh atau sembilan tahun aku mengabdi kepadanya, aku tidak pernah (mendengarnya mengomentari) kesalahan yang kulakukan dalam mengerjakan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau melakukannya begini dan begini,” atau mengomentari (kelalaianku) melakukan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau tidak melakukan ini dan ini.” (Imam Abu Dawud, Sunan Abî Dawud, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt, juz 4, h. 246-247)

Riwayat ini menunjukkan bahwa Sayyidina Anas adalah anak kecil yang memiliki dunianya sendiri, gemar bermain, dan bersenang-senang. Andaipun disuruh melakukan sesuatu, tanpa segan ia mengatakan, “tidak”, meski yang menyuruhnya adalah Rasulullah. Ini bukan hal yang aneh, karena begitulah anak kecil.

Menariknya, Rasulullah tidak menampakkan kemarahan, berwajah masam, dan menghardiknya dengan keras. Cara bersikap Rasulullah saat mendengar kalimat, “aku tidak akan pergi melakukannya,” adalah meninggalkannya.

Sejurus kemudian, ketika beliau menjumpai Sahabat Anas di pasar, beliau memegang tengkuknya dan berkata, “Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).”

Sahabat Anas lalu menjawab, “Baik, aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.” Ini menarik, karena Rasulullah tidak bertanya, “Apa kau sudah melaksanakan perintahku?”

Jika Rasulullah menanyakan itu, bisa jadi Sahabat Anas bingung menjawabnya, karena ia belum melakukannya. Bisa saja pertanyaan semacam itu membuatnya terpojok dan akhirnya berbohong.

Karena itu, Rasulullah menggunakan pendekatan teladan yang baik dan mudah dimengerti oleh anak kecil, didukung dengan wajah beliau yang sama sekali tidak menunjukkan kemarahan, malah tertawa lepas tanpa beban.

Hal menarik lainnya adalah jeda yang diberikan Rasulullah. Ketika perintahnya ditolak Sahabat Anas, beliau memberinya ruang agar ia tidak merasa ditekan. Anak kecil tentunya berbeda dengan orang dewasa.

Bagi anak kecil, ancaman dirasakan sebagai tekanan, karena fitrahnya memang suka bermain-main. Karena itu, selama sepuluh tahun melayaninya, Rasulullah tidak pernah sekalipun berkata kasar dan menyalahkannya.

Sikap Rasulullah inilah yang menumbuhkan rasa tidak enak hati secara alami dalam perasaan Sahabat Anas. Karena selama bertahun-tahun bersama Rasulullah, ia tidak pernah merasa dipertentangkan dengan keadaan yang membuatnya berbohong, dan dibandingkan dengan anak kecil lainnya hingga menimbulkan perasaan kurang dihargai.

Sikap Rasulullah ini menunjukkan bahwa dunia anak-anak adalah dunia yang tidak bisa dipandang secara menyeluruh dengan perspektif orang dewasa. Karena itu, Rasulullah memperlakukan Sahabat Anas sebagai anak kecil, bukan sebagai orang dewasa, sehingga apapun kesalahan yang dilakukannya, ia tidak menyalahkannya, tapi memberinya contoh yang benar.

Nasihat dan kata-kata memang berarti, tapi bagi anak-anak, contoh keteladanan jauh lebih terasa artinya. Ini bisa dilihat dari sekian banyak riwayat yang menceritakan bagaimana Rasulullah bergaul dengan anak kecil, baik cucunya sendiri, maupun orang lain, termasuk Sayyidina Anas.

Intinya, kita harus memperlakukan anak kecil sebagai anak kecil. Jangan paksakan pandangan orang dewasa kepada mereka. Karena standar kebenaran anak kecil, belum semapan orang dewasa. Kebenaran bagi mereka masih berganti-ganti, sesuai selera kesenangan mereka.

Di samping itu, kita juga harus mengedepankan keteladanan dalam bergaul dengan mereka. Nasihat dan penjelasan tetap harus dilakukan, tapi keteladanan tak bisa ditinggalkan. Selanjutnya,

Cara mendidik kepada anak ialah dengan mengajarkan tauhid kepada anak

Cara mendidik anak dalam katauhidan ini merupakan ajaran yang ditanam kan pada anak akan kepercayaan kepada Allah SWT. Ajarkan dari hal-hal yang kecil misalnya, dengan mengajarkan rukun islam serta rukun iman hal ini agar mengingatkan kepada anak bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan sang Khaliq atau sang pencipta yaitu Allah SWT agar ingat akan kewajibannya.

Cara mendidik anak selanjutnya ialah dengan mengajarkan anak berpuasa

Cara ini dilakukan oleh Rasulullah dalam mendidik anak. Meskipun terdengar sedikit susah karena sang anak harus menahan lapar hingga waktu maghrib. Namun, hal ini dilakukan untuk melatih kesabaran anak dan kewajiban rukun islam yang ke empat sebagai umat muslim.

Cara berikutnya yang dilakukan Rasulullah dalam mendidik anak ialah dengan mengajarkan bersedekah

Sebagaimana dilansir dari pommama.com, hadist sedekah yang paling utama diriwayatkan Abu Hurairah R.A. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari di saat terbitnya matahari: berbuat adil terhadap dua orang (mendamaikan) adalah sedekah; menolong seseorang naik kendaraannya, membimbingnya, dan mengangkat barang bawaannya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah; Berkata yang baik juga termasuk sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan sholat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

ada juga sebuah hadist yang mengatakan bila,“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Hadis ini mengartikan bahwa memberi lebih baik daripada menerima.

Dari sana terlihat bahwa kebiasaan bersedekah sangat baik untuk dilakukan. Apalagi ini mengajarkan bahwa harta yang dimiliki oleh kita tidak seutuhnya milik kita semua. Sebagaimana pada rukun islam ketiga diwajibkan agar memberi zakat.

Hal ini dalam bersedekah bisa dilakukan pada anak untuk melatih nantinya dalam kewajibannya sebagai umat muslim untuk membayar zakat.

Ini bisa diberikan teladan bersedekah pada anak dengan mencontohkannya langsung memberi kepada fakir miskin, anak yatim atau mengajarkan sifat empati dan kasih sayang kepada sesama manusia.

Tanggapan

Belum ada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

[quads id=1]

Konten Terbaru