Biografi Singkat Jenderal Sudirman, Panglima Besar TNI Pertama
INDIFFS.COM – Jenderal Sudirman atau Soedirman adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia. Jenderal Sudirman merupakan pahlawan nasional dengan jasa-jasanya yang besar.
Dibalik keberaniannya, Jenderal Soedirman memiliki kepribadian yang tenang dalam memecahkan masalah untuk menemukan cara yang solutif, gigih, dan sangat teguh dalam memegang prinsip.
Karena itulah ia dikenal sebagai pejuang yang tangguh dan tidak kenal lelah. Membaca biografi Jenderal Sudirman bisa memberi pandangan patriotisme dan rasa bela negara sebagai rakyat Indonesia. Melansir dari berbagai sumber, berikut biografi Jendral Sudirman.
Biografi Singkat Jenderal Sudirman
Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Ia merupakan anak dari pasangan karsid Kartawiraji dan Siyem. Karena permasalahan ekonomi, Sudirman kecil diasuh oleh pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo.
Setelah diadopsi, Soedirman diberi gelar kebangsawanan Jawa dan namanya menjadi Raden Soedirman. Tinggal bersama pamannya, Jenderal Sudirman memperoleh pendidikan yang layak. Soedirman besar dengan didikan etika dan tatakrama priyayi serta kesederhanaan sebagai rakyat biasa. Berkat didikan awalnya itu, Sudirman tumbuh menjadi anak yang rajin dan aktif.
Pada 1936, Sudirman menikahi Alifiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo. Setelah menikah, Sudirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. Jendral Sudirman memiliki istri yang bernama Alifah dan dikaruniai 7 orang anak.
Pendidikan Jendral Sudirman
Di usianya yang masih 7 tahun, Sudirman sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Sudirman dipindahkan ke sekolah menengah miliki Taman Siswa pada tahun ke-7 sekolah.
Kemudian pada tahun ke-8, ia pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat. Selama menempuh pendidikan di sana, ia pun ikut serta dalam kegiatan organisasi Pramuka Hizbul Wathan.
Pada 1936, Soedirman kembali ke Cilacap dan menjadi guru di Sekolah Dasar Muhammadiyah, yakni menjadi Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Selain itu, Sudirman juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana untuk kepentingan pendidikan dan pembangunan.
Perjuangan Jenderal Sudirman
Pada tahun 1944, Sudirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan diangkat sebagai komandan batalyon di Banyumas setelah menyelesaikan pendidikannya. Selama menjabat, Sudirman bersama rekan sesama prajuritnya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang, hingga diasingkan ke Bogor.
Setelah BKR (Badan Keamanan Rakyat) terbentuk, Soedirman turut aktif berpartisipasi di BKR cabang Banyumas dan memimpin masyarakat dalam melawan tentara Jepang. Sementara pasukannya dijadikan bagian dari Divisi V oleh Oerip Soemohardjo, yang saat itu merupakan panglima sementara.
Selain itu, Jenderal Sudirman merupakan saksi dari berbagai upaya diplomatik yang gagal dilakukan Indonesia terhadap pemerintahan Belanda yang saat itu selalu ingin menjajah.
Diplomatik pertama yang gagal adalah Perjanjian Linggarjati yang dalam penyusunannya ikut andil Sang Jenderal Soedirman. Selain itu, kegagalan pada perjanjian Renville yang harus membuat Indonesia mengembalikan wilayah yang berhasil diambil pada Agresi Militer Belanda I kepada Belanda dan mengharuskan Jenderal Sudirman menarik 35 ribu pasukannya.
Perundingan Roem Royen juga melibatkan peran Jenderal Soedirman karena berkaitan dengan kemiliteran dan upaya pemberontakan dalam negeri tahun 1948 dari peristiwa G30S PKI di Madiun.
Diangkat Sebagai Panglima TNI
Pada 12 November 1945, Sudirman terpilih untuk menduduki jabatan sebagai panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Oerip Soemohardjo menjadi kepala staffnya. Sebelum dilantik, ia sempat mengerahkan serangan kepada pasukan Inggris dan Belanda yang melakukan agresi militer di Ambarawa.
Berkat keberanian dan semangat juangnya dalam mempertahankan RI, Jenderal Sudirman berhasil mendapatkan dukungan besar dari rakyat yang kemudian mengantarkannya pada pangkat tertinggi di TNI.
Jenderal Sudirman resmi dilantik sebagai Panglima TNI oleh Presiden Soekarno pada 28 Juni 1947 di Yogyakarta pada usianya yang baru menginjak 31 tahun.
Akhir Perjuangan Sudirman
Selain melawan Sekutu dan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia, Sudirman dan pasukannya juga harus melawan serangan dari dalam. Salah satunya adalah upaya pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin oleh Musso pada 1948.
Berbagai perlawanan dilalui Jenderal Sudirman hingga ia menderita penyakit Tuberkulosis (TBC) karena terinfeksi saat berjuang yang menyebabkan paru-paru kanannya harus di kempeskan.
Meski dalam keadaan tidak sehat, Jenderal Sudirman tetap memimpin perlawanan Indonesia melawan Belanda yang melakukan Agresi Militer II pada 19 hingga 20 Desember 1948.
Saat itu Belanda berhasil menduduki Yogyakarta yang menjadi ibu kota Indonesia dan melawan para pemimpin negara, seperti Soekarno dan Hatta.
Jenderal Soedirman dan beberapa tentara serta dokter pribadinya melakukan gerilya selama tujuh bulan. Perlawanan yang terus dilakukan oleh pejuang gerilyawan Indonesia berhasil membuat Belanda menarik diri.
Meskipun sedang sakit, Sudirman saat itu juga di angkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat.
Selang sebulan, tepatnya pada 18.30 tanggal 29 Januari 1950 di usianya yang ke-34 tahun, Jenderal Sudirman wafat di Magelang, Jawa Tengah. Kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Jenderal Soedirman kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Tanggapan
Belum ada