Hukum Menghadiri Pernikahan Non-Muslim

Admin 0 Komentar

Menghadiri pernikahan sesuatu hal di anjurkan apabila tak ada udzur. Termasuk pernikahan non muslim jika tanpa ada rasa rela terhadap agamanya

Indiffs – Menghabiskan hidup dan menua bersama kekasih idaman bisa dikatakan sebagai suatu impian bagi setiap orang, sehingga sudah banyak yang melakukan pernikahan. Oleh karena itu, hampir setiap pasangan laki-laki dan perempuan ingin sekali untuk mewujudkan suatu pernikahan yang di mana pernikahan bisa membuat kedua pasangan hidup bersama. Namun bagaimana jika ini terdapat pada pasangan yang berbeda agama? Menurut Lukman, agama dalam pernikahan merupakan suatu yang penting. Pasalnya, agama menyangkut keyakinan dan keimanan. Jika terdapat perbedaan, dikhawatirkan bakal mengganggu komitmen pernikahan yang harus dijaga dan dirawat bersama. Bagaimana apabila agama yang dipilih pasangan tersebut merupakan agama non muslim, kita selaku temannya diundang dalam pernikahan tersebut. Dan bagaimana hukum nya apabila kita menghadiri pernikahan non muslim, Berikut penjelasannya yang dilansir dari laman resmi nahdatul ulama:

Memang manusia diciptakan sebagai mahkluk sosial yang aktif dan berkomunikasi serta berinteraksi dengan masyarakat. Salah satu bentuk interaksi tersebut seperti dalam perniagaan, pergaulan, pertemanan hingga pernikahan. Tentu pastinya semua memiliki batasan agar tetap saling menghormati.

Terus bagaimana apabila ada teman non muslim mengundang kita dalam pernikahannya?

Melansir dari sumber resmi nadhatul ulama menjelaskan; Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8 disebutkan:

لَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Allah  tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.

Berpijak dari ayat tersebut, mayoritas ulama memperbolehkan untuk berbuat dan bersikap baik kepada non-muslim, khususnya zimmi. Dalam kitab Hasyiyatul Jamal 4, 272-273 ditegaskan:

وَإِنَّمَا تَجِبُ الْإِجَابَةُ أَوْ تُسَنُّ بِشُرُوطٍ مِنْهَا إسْلَامُ دَاعٍ وَمَدْعُوٍّ فَيَنْتَفِي طَلَبُ الْإِجَابَةِ مَعَ الْكَافِرِ لِانْتِفَاءِ الْمَوَدَّةِ مَعَهُ نَعَمْ تُسَنُّ لِمُسْلِمٍ دَعَاهُ ذِمِّيٌّ لَكِنَّ سَنَّهَا لَهُ دُونَ سَنِّهَا لَهُ فِي دَعْوَةِ مُسْلِمٍ

Artinya: “Kewajiban atau kesunahan menghadiri undangan itu ditentukan beberapa syarat . Di antaranya adalah pihak pengundang dan yang diundang sama-sama beragama Islam. Maka dari itu, tidak ada anjuran untuk menghadiri undangan non-muslim karena memang tidak ada ikatan kasih sayang dengan mereka. Iya, disunahkan bagi seorang muslim untuk menghadiri undangan non-muslim zimmi meskipun kesunahan tersebut tidak seperti ketika diundang oleh orang muslim”.

Sedangkan dalam keterangan tafsir Nawawi 1, 94 diuraikan sebagai berikut:

واعلم أن كون المؤمن موالياً للكافر يحتمل ثلاثة أوجه أحدها : أن يكون راضياً بكفره ويتولاه لأجله ، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوباً له في ذلك الدين ، وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر ، فيستحيل أن يبقى مؤمناً مع كونه بهذه الصفة . وثانيها : المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر ، وذلك غير ممنوع منه . والقسم الثالث : وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة ، والمظاهرة ، والنصرة إما بسبب القرابة ، أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه ،  لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه ، وذلك يخرجه عن الإسلام

Artinya: “Ketahuilah bahwa orang mukmin menjalin sebuah ikatan dengan orang kafir itu seputar pada tiga hal; Pertama, ia rela atas kekufurannya dan menjalin ikatan karena kekufurannya. Hal ini dilarang karena membenarkan terhadap kekufuran merupakan bentuk kekufuran tersendiri. Maka mustahil seorang mukmin memiliki sifat demikian; Kedua, interaksi sosial dengan baik sebatas lahiriah dalam kehidupan dunia. Hal ini tidak dilarang; Ketiga, tolong-menolong yang disebabkan jalinan kekerabatan atau karena kesenangan, disertai sebuah keyakinan bahwa kekafirannya adalah agama yang tidak benar. Hal tersebut tidak menjerumuskan seorang mukmin pada kekafiran, akan tetapi ia tidak diperbolehkan (menjalin ikatan di atas). Sebab jalinan yang semacam ini terkadang memberi pengaruh untuk menjerumuskan menuju kekafiran dan rela terhadapnya. Dan faktor inilah yang dapat mengeluarkannya dari Islam”.

Memang memenuhi undangan pernikahan mereka termasuk perbuatan baik. Ini merupakan bentuk memupuk kebaikan (mu’asyarah bil ma’ruf) yang tidak dilarang dalam Islam. Karena dengan menghadiri undangan mereka, sama halnya menunjukkan kepedulian dan menghargai undangan mereka. Bahkan dengan menunjukkan kebaikan ini sama halnya mencerminkan Islam agama yang ramah.

Dengan demikian bila disimpulkan hukum menghadiri pernikahan non-muslim itu:

a) Boleh selama hanya memenuhi undangan karena sebatas lahiriah saja tanpa ada perasaan rela dan senang terhadap agamanya

b) Haram apabila kehadirannya disertai perasaan senang terhadap agamanya dan menyukai makanan maupun minumannya yang jelas terindikasi keharamannya.

Tanggapan

Belum ada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Konten Terbaru