Hukum Perjodohan Dalam Islam, Ini Dia Penjelasannya

Admin 0 Komentar

Salah satu cara seseorang mendapatkan pasangan yaitu dengan dijodohkan. Nah, berikut ini hukum perjodohan sesuai dengan ajaran agama Islam

INDIFFS.COM – Pasangan dapat bertemu satu sama lain dan menjadi ikatan pernikahan. Salah satu cara seseorang mendapatkan pasangan yaitu dengan dijodohkan. Nah, lantas bagaimana hukum perjodohan dalam agama Islam? Simak yuk penjelasan dibawah ini!

Hukum Perjodohan Dalam Islam

Pada dasarnya, dijodohkan atau perjodohan dalam Islam itu tidak terlarang. Sebagaimana para sahabat juga pernah melakukan perjodohan untuk anak-anak mereka. Nah, berikut ini adalah hukum perjodohan dalam agama Islam.

1. Orangtua Tetap Minta Persetujuan Anak

Tidak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang Muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya, begitupun sebaliknya.

Pernikahan melalui perjodohan ini sudah terjadi sejak dahulu.Bahkan, di zaman Rasulullah SAW pun pernah terjadi. Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak dijodohkan dan dinikahkan oleh ayahnta dengan Rasulullah SAW. Setelah baligh, barulah Umul Mukmin Aisyah tinggal bersama Rasulullah.

Maka dalam hal ini, apabila orangtua ingin menjodohkan atau memilihkan jodoh untuk anaknya dan kemudian anak menerima dan merasa cocok tentu ini adalah hal yang sangat baik. Namun, ketika orangtua memilihkan jodoh untuk anaknya tapi anak merasa tidak cocok. Kemudian, anak memaksakan keadaan untuk tetap menerima karena merasa tidak enak atau durhaka kepada orangtuanya maka hal ini merupakan suatu hal yang tidak baik.

Anak berhak menolak perjodohan yang dilakukan orangtuanya serta memilih jalan hidup dan jodohnya sendiri. Sebagaimana hadist yang telah disampaikan oleh Abdullah bin Abbas ra berkata, Rasulullah SAW bersabda:

الثَّيِّب أحقُّ بنفسها مِن وَلِيِّها، والبِكر تُسْتَأمَر، وإذْنُها سُكُوتها

Artinya: “Wanita janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sementara wanita perawan harus dimintai persetujuan dan persetujuannya adalah diamnya.”

Hadist ini menunjukan bahwa wanita yang telah janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dalam menyatakan persetujuan. Artinya, sang wali tidak boleh menikahkannya sampai wanita itu memberi izin secara verbal, karena ia lebih berhak atas dirinya dalam hal pernikahan. Jika dia tidak mengizini, maka sang wali tidak memiliki hak atas kuasanya.

Sementara wanita perawan yang telah baligh dimintai persetujuan oleh walinya untuk dinikahkan. Persetujuan ada dalam diamnya, karena diamnya seseorang adalah menunjukan persetujuannya, dan tidak boleh memaksanya.

Rsaulullah SAW bersabda sebagaimana disebut Abdul Alim Abdul Majid dalam Qadaya ‘Alamiyya Mu’ashirah halaman 66 sebagai berikut:

لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتأمَر وَلَا تُنْكَحُ‏ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ‏ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَن تسكت ‎

Artinya: “Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419).

2. Wanita dan Lelaki Harus Sama-sama Bersedia dan Ikhlas Menikah

Dalam pernikahan ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih dahulu kepada calon istri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diakad nikahkan. Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara suami istri seperti pergaulan dalam islam bagi suami istri

Kelanggengan, keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila kerelaan pihak calon istri belum diketahui. Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 7).

3. Adanya Kesetujuan Kedua Belah Pihak

Perjodohan halal dilakukan dan kelanjutan menjadi hak kedua belah pihak (lelaki dan wanita). Pernikahan harus dilakukan dengan ikhlas di hati keduanya agar tercapai manfaatnya dalam Islam. Jika dalam perjodohan ada salah satu pihak yang  tidak setuju, maka tidak diperbolehkan dilakukan.

Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 19, berikut ini ayatnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Demikian pembahasan terkait hukum perjodohan dalam agama Islam. Singkatnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan dua insan. Menurut para ulama, perjodohan dibolehkan dalam Islam asalkan tidak keluar dari batasan syariat.

Tanggapan

Belum ada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

[quads id=1]

Konten Terbaru