Kisah Imam Aswad Bin Yazid, Ahli Puasa Yang Malu Karena Dosa
Indiffs – Kisah imam aswad bin yazid salah satu seorang perawi hadist ini memiliki banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut. Dari kisah imam Aswad bin Yazid ini mengajarkan bagaimana sikap rasa malu kita terhadap Allah SWT akan segala sesuatu hal yang diperbuat. Meski Imam Aswad bin Yazid ini terkenal sebagai orang yang ahli ibadah beliau tetap memiliki rasa malunya kepada Allah.
Ini mengingatkan kepada kita bahwa seorang ahli ibadah saja masih ingat terhadap dosa. Karena itu, penting sekali bagi manusia untuk mengingat kembali rasa malunya. Salah satu caranya dengan memperkuat kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi kita.
Beliau mempunyai nama lengkap al-Aswad bin Yazid bin Qais. Julukannya Abu Amr an-Nakha’iy al-Kufi. Imam al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i merupakan seorang tabi’in yang berguru pada banyak sahabat.
Ia mengambil riwayat hadits dari Sayyidah ‘Aisyah, Mu’adz bin Jabal, Bilal, Ibnu Mas’ud, Hudaifah bin al-Yamani dan lain sebagainya. Murid-muridnya adalah Abdurrahman bin al-Aswad (anak), Ibrahim al-Nakha’i (keponakan), ‘Umarah bin ‘Umair, Abu Ishaq al-Sabi’iy, al-Sya’bi dan lain sebagainya. (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51).
Selain ahli di bidang hadits dan fiqih, Imam al-Aswad juga mahir di bidang qiraat. Ia mengambil riwayat bacaannya dari Sayyidina Abdullah bin Mas’ud, dan murid-muridnya di bidang ini adalah Yahya bin Watsab (w. 103 H), Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H), dan Abu Ishaq al-Sabi’iy (w. 127 H). (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51).
Ia saudara kandung Abdurrahman bin Yazid, salah seorang tabi’in. Beliau juga adalah paman dari Ibrahim an-Nakha’iy yang juga salah seorang tabi’in dan semua keluarganya tinggal dalam satu rumah yang ditempati para ulama. Mereka diberikan apresiasi sebagai orang-orang yang bekerja keras karena taat kepada Allah, menegakan shalat, menunaikan zakat dan menjalankan ibadah haji.
Dalam banyak riwayat, Imam al-Aswad disebut sebagai orang yang sangat rajin beribadah dan berpuasa. Salah satu riwayat bahkan mengatakan:
أن الأسود كان يصوم الدهر
“Sesungguhnya al-Aswab berpuasa sepanjang waktu.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 52).
Sebagai orang yang terlahir dari keluarga ulama. Masa kecil dan masa mudanya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama. Hampir semua anggota keluarganya menjadi ulama besar. Saudara laki-lakinya, Abdurrahman bin Yazid al-Nakha’i, seorang ahli hadits ternama. Pamannya, ‘Alqamah bin Qais al-Nakha’i (w. 61/62 H), termasuk dalam faqîh al-kûfah (ahli fiqih Kufah). Saudara perempuannya, Malikah binti Yazid al-Nakha’i, melahirkan seorang ulama besar, Ibrahim al-Nakha’i, ahli fiqih dan ahli hadits Kufah yang sangat termasyhur. Anaknya, Abdurrahman bin al-Aswad al-Nakha’i, menjadi ahli fiqih dan ahli hadits luar biasa. Imam al-Dzahabi menyebut mereka dengan mengatakan, “ahlu bait min ru’ûsil ‘ilmi wal ‘amal” (keluarga dari para master ilmu dan amal). (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51).
Artinya, sejak kecil ia disibukan dengan menuntut ilmu dan belajar. Hal ini membentuk kepribadiannya. Ia sangat disiplin dalam mengamalkan agamanya. Meski demikian, ia tidak pernah menganggap dirinya suci atau bersih dari dosa. Amal ibadahnya yang sekian banyak, tidak membuatnya sombong. Malah sebaliknya, itu membuatnya malu, karena ia tahu, tidak ada manusia yang terbebas dari perbuatan salah.
Oleh karena itu, orang-orang di sekitarnya merasa aneh melihat Imam al-Aswad al-Nakha’i menangis menjelang kewafatannya. Orang yang selama ini sangat rajin beribadah dan berpuasa, dari muda sampai menua, kenapa tampak kepanikan dan kecemasan di ujung hidupnya. Salah satu dari mereka bertanya: “Kepanikan (macam) apa ini?” Mereka, tampaknya, heran sekaligus bingung melihat keadaan Imam al-Aswad, seperti hendak mengatakan: “Bukankah dia seharusnya senang dipanggil Allah? Bukankah ini tidak menunjukkan sikap kepasrahan?”
Mendengar itu, Imam al-Aswad menjawab: “Aku tidak panik (karena kematian). Demi Allah, meskipun aku diberikan ampunan oleh Allah, rasa malu(ku) atas apa yang telah kuperbuat (di kehidupan ini) tetap membuatku gelisah. Sesungguhnya seseorang itu berada di antara (diri)nya dan dosa kecil terakhir(nya), lalu Allah mengampuninya, maka (orang tersebut sudah sepantasnya untuk) terus merasa malu kepada-Nya.”
Dalam jawaban tersebut, kita bisa temukan dua hal penting. Pertama, tentang rasa malu yang harus diingat manusia, dan kedua tentang pentingnya terus-menerus memohon ampun meski telah di ujung usia. Sumber dari nuonline.id
Tanggapan
Belum ada