Kisah Nenek Ahli Ibadah yang Menjadi Takhbib Orang Lain
Indiffs – Kata takhbib belakangan menjadi populer diperbincangkan di media sosial. Kata takhbib berkaitan kehadiran pihak ketiga dalam rumah tangga seseorang. Kata takhbib secara harfiah berarti upaya menipu, memperdaya, dan upaya merusak. Kata takhbib secara istilah dapat dipahami sebagai tindakan seseorang pihak ketiga yang berdampak pada kerusakan hubungan rumah tangga seseorang.
Kata takhbib dapat ditemukan pada hadits Nabi Muhammad saw. Kami akan mengutip hadits Nabi Muhammad saw pada dua riwayat berikut ini. Adapun berikut ini adalah hadits riwayat Abu Dawud:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرِئٍ أَوْ مَمْلُوْكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya: “Dari sahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang merusak (takhbib) istri atau budak seseorang, maka ia bukan bagian dari kami,” (HR Abu Dawud).
Takhbib menjadi kata kunci dalam hadits tersebut. Ulama menjelaskan bahwa takhbib secara bahasa adalah tindakan seseorang yang menipu, memperdaya, dan merusak imajinasi seorang istri atas suaminya.
Takhbib dapat juga mengarah pada provokasi pihak ketiga agar istri seseorang menggugat cerai suaminya. Takhbib dilakukan dengan tujuan agar pihak ketiga itu sendiri atau pihak lain menikahi perempuan tersebut, atau untuk tujuan lainnya.
Takhbib tak hanya datang dari perempuan seksi yang menggoda suami orang. Pun juga tak melulu muncul dari lelaki macho yang iseng merayu istri orang. Bahkan kakek nenek tua renta pun mungkin saja merusak keharmonisan sepasang suami istri yang saling cinta. Tak percaya? Berikut ini kisahnya.
Syekh Ali al-Khawash (w. 949 H) sufi agung asal Mesir pernah berkisah kepada murid kesayangannya, yaitu Syekh Abdul Wahab as-Sya’rani. Ia punya tetangga lelaki sukses yang sedang menapaki karier sebagai hakim negara. Si hakim ini sangat mencintai istrinya. Demikian pula si istri sangat menyayanginya. Seolah tak ada seorang pun yang dapat merusak keharmonisan di antara keduanya.
Sampai akhirnya datang nenek tua renta ke rumah pasangan itu dan tinggal di sana. Sosok nenek tua renta lengkap dengan atribut kesalehan. Membawa tasbih dan sajadah selayaknya ahli ibadah. Tampak khusuk dalam keseharian nya. Selama dia tinggal di sana, si nenek selalu puasa di siang hari dan qiyamul lail di sepanjang malam nya. Melihat kesalehannya, si hakim dan istri pun menaruh simpati kepadanya. Tak hanya simpati, bahkan mereka pun menjadi sangat senang kepadanya.
Hari-hari berikutnya, si hakim sering menginap di luar, yaitu di tempat seseorang yang diyakininya merupakan orang shaleh semacam wali. Nah, kesempatan malam-malam itu akhirnya dimanfaatkan si nenek untuk mendekati istri si hakim.
“Sungguh kamu sudah seperti anakku sendiri. Kebahagiaanmu menjadi tanggung jawabku. Kesusahanmu juga menyusahkanku. Sungguh suamimu telah menikah lagi tanpa sepengetahuanmu. Malam-malam ini pun ia pergi menginap di tempatnya,” kata si nenek dengan membujuknya.
“Maksudku begini. Ambillah pisau dan potonglah sebagian jenggot nya yang dekat dengan bagian atas dadanya. Nanti biar kujadikan sarana agar ia menceraikan istri barunya dan agar tidak akan menikah lagi dengan wanita lain selamanya,” lanjut si nenek secara sangat meyakinkan. Di waktu lain tanpa sepengetahuan si istri, si nenek mendekati si suami.
“Tuanku, anda sangat berjasa kepadaku. Apa yang menyusahkanmu juga menyusahkanku. Sungguh malam ini istrimu punya rencana jahat akan memenggal lehermu agar bisa menikah dengan lelaki lain. Bila anda tak memercayai ucapanku, silakan pura-pura tidur dan pejamkan kedua matamu. Pura-pura mengoroklah dan lihatlah apa yang akan dilakukan istrimu,” ujarnya menghasut suami malang itu.
Benar saja, si suami atau si hakim itu pun mengiyakannya. Ia pura-pura tidur dan melirik gerak-gerik istrinya secara sembunyi-sembunyi tanpa disadari oleh si istri. Ia lihat si istri menghampirinya dengan membawa pisau, memasukkan tangan guna mengangkat jenggot panjangnya dari atas dada, dan memasukkan pisau ke sana.
Menjeritlah si suami penuh kekagetan dan secepat kilat menyambar palu besar di sisinya. Ia pukul istrinya dengan palu besar itu tepat di bawah telinganya hingga tewas seketika. Setelah mendengar tragedi memilukan itu, keluarga si istri akhirnya datang beramai-ramai dan menyeret si suami kepada penguasa setempat, yang kemudian menghukumnya dengan hukuman mati seketika itu juga.
Lalu bagaimana kisah si nenek jahat itu? Ia pun mengeloyor pergi sambil berucap: “Subhanallah, Subhanallah.”
Lalu siapakah sebenarnya nenek jahat itu? Meskipun secara lahiriah tampak seperti ahli ibadah, ia adalah nenek malang yang terkuasai oleh iblis untuk menghancurkan rumah tangga orang. Demikian penjelasan Syekh Abdul Wahab as-Sya’rani, seiring sabda Nabi saw:
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ. ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ، فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً. يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ: ثُمَّ يَجِىءُ أَحَدُهُمْ، فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ. رواه مسلم
Artinya: “Sungguh iblis meletakkan kursi singgasana nya di atas air (lautan). Lalu ia utus pasukannya untuk menggoda manusia. Yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnah nya. Salah satunya datang menghadap dan berkata: ‘Aku telah melakukan ini itu’ Iblis menjawab: ‘Kamu belum melakukan apa pun. Nabi SAW bersabda: “Lalu datang yang lainnya dan berkata: “Aku tidak meninggalkan manusia hingga aku pisahkan antara dia dan istrinya.’ Nabi SAW bersabda: ‘Lalu iblis itu mendekatkan salah satu pasukannya itu kepadanya dan berkata: ‘Kamu adalah pasukanku terbaik.” (HR Muslim). (Abdul Wahab as-Sya’rani, Lawaqihul Anwar fi Bayanil ‘Uhudil Muhammadiyah, [Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiyah: 2005], halaman 589-590).
Dari kisah tragedi pasangan suami istri ini dapat diambil hikmah, bahwa perjalanan rumah tangga selalu mengandung ujian. Bisa jadi orang yang sekilas kelihatan sangat dekat dan baik justru menjadi pintu masuk prahara rumah tangga. Namun demikian bukan masalah seberapa besar ujian yang menyapa, tapi lebih pada bagaimana cara menghadapinya. Tetap percaya kepada pasangan menjadi jalan terbaik daripada sekadar menuruti bisikan orang ketiga, meskipun tampaknya baik dan dapat dipercaya. Wallahul musta’an.
Tanggapan
Belum ada